Widget HTML #1

Membaca sebagai Solusi Menghadapi Kesulitan



“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” itulah ungkapan Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia pertama yang selalu kita kenang hingga hari ini.

Kondisi yang sulit ternyata tak menjadi kerisauan bagi seorang Bung Hatta, jika aktivitas membaca tidak dihentikan darinya.

Di tengah ledakan bahan bacaan akibat kemudahan teknologi hari ini, sudahkah kita menempatkan posisi buku seperti layaknya Bung Hatta?

Kekhawatiran Bung Hatta yang lebih memilih dipenjara asalkan bersamanya buku, telah menjadi kenyataan hari ini. Kesulitan hidup yang dihadapi mayoritas masyarakat Indonesia bisa jadi karena jauh dari buku.

Kemudahan justru membuat kita semakin sulit. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017 mempublikasikan bahwa 50 persen atau setengah dari jumlah masyarakat Indonesia telah terhubung internet. 

Namun yang mengecewakan adalah hanya 0,001% minat baca di Indonesia (data UNSCO, 2016). Berarti dari 1000 orang, hanya satu orang yang rajin membaca di Indonesia.

Beberapa permasalahan yang tengah dihadapi negeri ini di antaranya, rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka kemiskinan dan membludaknya jumlah pengangguran.

Padahal membaca dapat menolong diri sendiri keluar dari berbagai permasalahan hidup (Saleh, 2014: 25). Dengan demikian, kebutuhan membaca sebagai syarat meningkatkan kapasitas diri adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.   
Rendahnya minat baca di Indonesia disebabkan kurangnya dorongan keluarga dan lingkungan sekitar terhadap aktivitas literasi. Selain itu, sedikitnya informasi tentang manfaat membaca yang sampai kepada masyarakat membuat aktivitas meningkatkan kapasitas diri membaca, hampir ditinggalkan.

Selain menambah pengetahuan, aktivitas membaca dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis, meningkatkan memori, mendorong tujuan hidup (termotivasi), terhubung dengan dunia luar dan memberikan ketenangan atau hiburan (ex: membaca novel, cerpen dsb). 

Dari banyaknya manfaat membaca, ternyata ada yang lebih mencolok dan langsung meningkat nilai diri (value). Kemampuan tersebut adalah keterampilan menulis. Era digital menuntut siapa saja agar memiliki kemampuan menulis. Jika tidak bisa atau tidak mulai dibiasakan, maka bersiap-siap untuk tertinggal.

Berapa banyak hari ini anak-anak muda yang fokus dengan aktivitas menulis dan mampu menghidupi diri dengan finansial yang layak dari karya tulisan yang dihasilkan. Ada banyak platform menulis yang mampu membayar siapapun kita dengan gaji fantastis. Semua itu terbuka dan bebas untuk siapa saja yang mempunyai kemampuan tersebut.

Meningkatkan minat baca
Kunci meningkatkan minat baca adalah dengan mentukan apa tujuan kita membaca. Artinya, ada goal dan output yang jelas dan ingin dihasilkan dari aktivitas tersebut. 

Sebagai contoh, saya suka membaca buku-buku interpreneur karena ingin menjadi pembisnis yang hebat layaknya Jack Ma dan Chairul Tanjung. Kita dapat mentukan dengan bebas apa yang ingin kita capai melalui aktivitas membaca. 

Negara-negara maju selalu ditandai dengan tingginya minat baca masyarakat setempat. Sebut saja Finlandia. Anak-anak di sana didorong meningkatkan minat baca sejak dini. Mulai dari usia 7 tahun, mereka diwajibkan membaca 1 buku di setiap pekannya.

Di Indonesia, anak-anak malah dikenalkan bermain game dan gadget sejak dini. Itulah perbedaan mencolok antara negara kita dan Finlandia. 

Era digital harus dimanfaatkan betul untuk meningkatkan kapasitas diri menjadi lebih maju dan berkembang, bukan malah mundur dan terseret arus sebagaimana dampak negatif kemajuan teknologi yang tengah dihadapkan pada kita saat ini.

Pada akhirnya, kemudahan informasi hari ini harusnya mudahkan kita mewujudkan mimpi menuju sukses, hebat dan bermanfaat bagi banyak orang. Bukan malah menjadi individu yang sepi kontribusi atau bahkan meresakan banyak orang. Nah!