Widget HTML #1

Buruh Kasar Vs Buruh Digital, Siapa Menang?

Dok Instagram @roni_officialnet


Setiap 20 Februari diperingati Hari Pekerja Indonesia (HPI). Hal ini tertuang dalam surat Keputusan Presiden No. 9 tahun 1991 yang ditandatangani Presiden Soeharto. Mirip-mirip dengan May Day yang diperingati secara internasional, HPI diharapkan menjadi bahan refleksi sekaligus momen melihat peluang para buruh di negeri ini untuk bergerak lebih baik ke depan. Seperti apa peluang dimaksud?

Fenomena Buruh
Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Keadaan Ketenegakerjaan Indonesia pada Februari 2018 lalu menyebutkan, jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 133,94 juta orang. Naik 2,39 juta dibandingkan Februari tahun sebelumnya. Lapangan kerja masih didominasi oleh sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan.

Data ini mengindikasikan bahwa jumlah buruh di Indonesia sangatlah tinggi dan akan terus bertambah. Belum lagi pada referensi yang lain, Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kerja, Kemanker RI, Bambang Satrio Lelono menyebutkan 750 ribu - 800 ribu orang rata-rata sarjana diwisuda per tahunnya. Ini tentu menambah jumlah pekerja dari lini buruh berpendidikan di negeri ini.

Di tengah kejamnya dunia eksploitasi buruh, profesi ini tetap saja menjadi skala prioritas. Menurut Kurniawan dan Sulistyaningrum (2017: 195), bentuk eksploitasi buruh yang sering dilakukan oleh pemilik modal/pengusaha antara lain: 1. Bekerja dengan jam kerja yang berlebihan (excessive working time); 2. Tingkat upah yang rendah (low pay rate); 3. Minimnya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja; 4. Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh pemberi kerja/pengusaha.

Buruh Digital
Kemajuan teknologi telah menawarkan berbagai kemudahan kepada manusia di segala lini. Tak terkecuali bagi buruh. Beragam pemanfaatan digital telah membuka lapangan kerja berwujud platform yang jumlahnya sungguh tak terhitung lagi di sana. Namun mirisnya, peluang ini hanya dilihat oleh segelintir orang saja.

Dalam suatu kesempatan, seorang teman pernah bercerita bahwa dirinya dibayar hingga Rp 5 juta-an lebih setiap bulannya dari salah satu platform menulis di internet.

Tidak hanya menulis, saat ini ada berserakan platform lain di sana yang mampu menampung karya dan jasa setiap buruhnya dengan upah fantastis. Bisa memilih dengan bebas pekerjaan sesuai hobi. Itulah yang tengah ditawarkan dunia digital pada kita hari ini. 

Dan yang pasti, menjadi buruh digital lebih menjamin para pekerjanya terhindar dari ancaman PHK, keselamatan kerja dan sebagainya. Para buruh digital lebih dituntut kreatif, kerja keras, mampu mengalahkan diri sendiri, punya otoritas mengontrol diri tanpa harus dibebani tuntutan pemilik perusahaan.

Atta Halilintar, Ria Ricis, Raditya Dika dan masih banyak lagi sederet nama yang sukses mendapat gaji pulahan bahkan ratusan juta rupiah per bulannya. Mereka merupakan barisan para buruh digital yang menjual kreativitas sebagai modal mengumpul dolar di sana. Para buruh digital ini mempunyai kesempatan lebih cepat sampai pada puncak kesuksesan. Sayangnya masih sedikit yang melirik besarnya peluang menjadi buruh digital ini.
Kemudian, beberapa orang malah tidak puas bertindak sebagai buruh. Ia lebih memilih memposisikan diri sebagai bos. Sebut saja Nadiem Makarim (GoJek ), Achmad Zaky (Bukalapak), Ferry Unardi (Traveloka) dan masih banyak lagi. Mereka adalah sederet bos di dunia digital yang jeli memaksimalkan peluang dan malah membuka lapangan kerja bagi banyak orang.

Dunia star-up (perusahaan rintisan) dan creativepreneur (bisnis kreatif) tengah berkembang pesat. Bisnis ini menyasar terutama kalangan para milenial untuk bertindak baik menjadi buruh maupun menjadi bos di dunia digital. Anak sulung bos CT Corp, Putri Tanjung telah mencontohkan bisnis era milenial ini melalui Creativepreneur Event Creator miliknya. Dibangun secara mandiri, tanpa embel-embel orang tua.

Lahirnya e-Commerce (transaksi barang dan jasa digital), e-Learning (edukasi digital), e-Banking (transaksi keuangan digital), hingga e-Government (administrasi pemerintahan berbasis digital) merupakan bentuk transformasi kehidupan yang akan segera beralih dari dunia nyata menuju virtual. Transformasi ini kemudian membuka asa baru bagi para buruh digital untuk mendapat lapangan kerja yang banyak di sana.

Terlebih saat ini pemerintah tengah giat-giatnya mendorong masyarakat beralih dari buruh kasar ke buruh digital. Hal ini ditandai dengan lahirnya Industri 4.0 yang merupakan satu bentuk keseriusan pemerintah mengajak kita semua melihat peluang digital sebagai lapangan pekerjaan. Bekerja lebih mudah, bersaing dengan diri sendiri dan yang terpenting tidak berada di bawah tekananan atau bayang-bayang PHK.

Diana (dalam Adhikara, 2011: 1067), mengutarakan beberapa manfaat digital dalam dunia bisnis (e-bisnis). Diantaranya, menjangkau lebih banyak pelanggan, memilih pemasok terbaik, menjalin relasi dengan mitra bisnis yang dinilai paling cocok, mengurangi biaya, menyusun, memproses, mendistribusikan, menyimpan, mengakses informasi berbasis kertas dan lain-lain. Dengan demikian, sudah selayaknya kita beralih dari buruh kasar menuju buruh digital, melihat banyaknya manfaat dan kemudahan yang ditawarkan.

Menutup tulisan ini, semoga narasi singkat di atas mampu memperbarui mindset kita, berupaya menjadi lebih baik lagi dan membuka sedikit wacana baru untuk melihat peluang yang lebih besar ke depan.

Terlebih Indonesia akan menyambut Bonus Demografi pada 2030 mendatang. Maka sudah selayaknya generasi milenial ini bersiap dan diarahkan dari buruh kasar menjadi buruh digital. Syukur-syukur malah bisa jadi bos digital, membuka lapangan kerja bagi buruh lain di tengah tingginya jumlah pengangguran, mencapai 6,87 juta orang (BPS, 2018) di negeri ini. Selamat Hari Pekerja Indonesia! 



Post a Comment for "Buruh Kasar Vs Buruh Digital, Siapa Menang?"