Widget HTML #1

Kuliah untuk Cari Kerja?



Suasana Kuliah Pengabdian Masyarakat UIN Ar-Raniry di SDN 7 Kota Jantho, Kamis (2/5/2019).

Pendaftaran Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) baru saja berakhir pada 24 Juni 2019 lalu. Para pemburu almamater bertitelkan ‘calon mahasiswa baru’ tengah berduyun-duyun merebut kursi di perguruan tinggi dengan jumlah yang begitu terbatas, melalui berbagai jalur yang telah disediakan. Salah satunya melalui jalur SBMPTN seperti yang baru saja dilaksanakan beberapa waktu lalu.

Berdasarkan data publikasi di laman Ristekdikti, pendaftar SBMPTN 2017 berjumlah 797.023 peserta dengan daya tampung 128.085 peserta. Tahun 2018 jumlah pendaftar naik menjadi 860.001 peserta dengan daya tampung 165.831 peserta. Berkaca pada tahun sebelumnya, tren peningkatan jumlah peserta SBMPTN tahun ini sepertinya akan terus berlanjut. Dengan daya tampung yang begitu terbatas, maka dipastikan tes masuk kampus secara nasional tahun ini akan semakin kompetitif.

Mindset keliru
Tujuan utama pendidikan tinggi pada dasarnya adalah mencetak sumber daya manusia (SDM) yang baik, berguna dan bermanfaat di masyarakat. Bangku kuliah hanyalah miniatur terkecil dari sekian banyak instrumen yang dapat digunakan untuk mengantarkan kita pada kesuksesan. Kampus sejatinya bukan satu-satunya alat menuju puncak karir, apalagi sampai kepada menjamin dunia pekerjaan.

Sungguh sebuah mindset (pola pikir) yang keliru bila tujuan masuk perguruan tinggi adalah mencari lapangan pekerjaan. Jika kuliah dengan harapan mendapat kerja dengan gaji melimpah ruah, sungguh kampus tak sanggup memfasilitasi itu. Perguruan tinggi hanya berupaya menjembatani para mahasiswanya menuju masa depan yang diimpikan dan dicita-citakan. Kampus hanya asbab mengantarkan kita kepada lapangan pekerjaan atau bahkan yang lebih mulia lagi yaitu menciptakan lapangan kerja.

Tidak mengherankan bila kampus belum menjadi solusi di tengah krisis kesenjangan ekonomi dan sosial yang tengah menimpa masyarakat saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia naik 3,41 persen pertahun, (Gardiner dkk, 2017:3). Namun peningkatan ini tidak sebanding dengan kualitas SDM yang dihasilkan. Pengangguran dari golongan berpendidikan terus bertaburan, kenapa demikian?

Disrupsi dan krisis keterampilan
Revolusi Industri 4.0 seperti yang dihadapkan pada generasi sekarang, di mana hampir semua pekerjaan dikerjakan oleh mesin, teknologi robotik, komputerisasi dan sejenis. Keluhan sempitnya lapangan kerja semakin bertambah sebab lapangan kerja yang ada saja harus dipangkas semenjak kehadiran teknologi. Inilah yang disebut disrupsi, yaitu beralihnya aktivitas manusia dari dunia nyata ke dunia maya dan robotik (teknologi). Menggunakan jasa robotik dalam membantu pekerjaan manusia dianggap lebih efisien, menghemat biaya dan yang paling penting, robot tak pernah lelah sebagaimana yang menjadi kodrat manusia.

Era teknologi sebenarnya menjadi peluang bagi kita untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun yang terjadi adalah perguruan tinggi masih sulit melahirkan SDM yang terampil dan mumpuni. Tak siap pakai, namun sibuk mengeluhkan sulitnya lapangan pekerjaan. Padahal menurut Hasan Basri M. Nur (Serambi, 2017), tidak ada istilah sulitnya mendapat pekerjaan, yang ada fenomena tidak siapnya generasi muda dalam menghadapi persaingan.

Prospek perguruan tinggi
Kampus sebenarnya punya berbagai instrumen yang mampu memfasilitasi penduduknya menjadi manusia yang terampil, berkembang dan berkarya sepuas-puasnya. Perguruan tinggi bukan sekedar tempat kuliah, tetapi wadah berproses seperti belajar membangun relasi, kemampuan leadership (kepemimpinan), pengembangan skill dan berbagai keterampilan lainnya.
Peluang-peluang seperti ini tidak didapat di bangku kuliah, melainkan di organisasi-organisasi intra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti Pers Mahasiswa, Lembaga Dakwah Kampus dan masih banyak lagi di sana.

Di tempat-tempat seperti ini kita akan di tempa bagaimana mengelola potensi diri agar terampil dan mumpuni dibidangnya. Jangan heran bila anak Fakultas Ekonomi yang berorganisasi dan memiliki jabatan sebagai bendahara umum di salah satu BEM atau UKM, lebih paham soal seluk beluk keuangan dibandingkan mahasiswa di fakultas yang sama tetapi belum pernah menyentuh dan mengatur duit organisasi dengan berbagai persoalan dan kerumitan yang dihadapkan kepadanya.

Dalam buku Era Disrupsi Peluang dan Tantang Pendidikan Tinggi di Indonesia, (Gardiner dkk, 2017 :158) menyebutkan, dunia jauh berbeda dengan ruang kelas. Masalah yang dihadapi di luar sana adalah realitas yang sesungguhnya. Untuk mampu mengantisipasi hal tersebut, mahasiswa harus dapat berpikir kreatif agar bisa bertanggung jawab dalam menyelesaikannya secara mandiri.

Orang-orang yang sibuk memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan di kampus, akan tertempa menjadi sosok yang dapat berpikir kreatif, cepat menangkap peluang, bahkan menciptakan peluang itu sendiri untuk orang lain.

Sebut saja para founder (pendiri) seperti Belva Devara (Ruangguru), Nadiem Makarim (GoJek) dan Achmad Zaky (Bukalapak), mereka adalah para alumnus yang siap pakai, mampu menciptakan peluang dan manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri melainkan untuk banyak orang dengan ruang lingkup yang luas. Kenapa mereka mampu menciptakan peluang?

Sebenarnya mereka dan banyak orang-orang sukses di luar sana punya pola yang sama, berusaha menyuap diri dengan berbagai keterampilan saat di kampus, lalu mengkombinasikan antara pengetahuan yang didapat di bangku kuliah dan keterampilan yang diasa di luar bangku perkuliahan menjadi satu wujud yang berguna di masyarakat.

Prospek (peluang) inilah yang kemudian harus diambil cepat oleh adik-adik yang akan segera bertitelkan mahasiswa ini nantinya. Di tengah keterbukaan pasar, persaingan tentu tidak bisa dielakkan lagi. Para pemilik lapangan pekerjaan juga akan sungkan melirik orang-orang yang tidak punya keterampilan dan keahliaan. Sebut saja lulusan Komunikasi. Bila setelah wisuda nanti tidak punya keterampilan berbicara (public speaking), tidak mampu mengaplikasikan salah satu ilmu yang pernah diajarkan di bangku perkuliahan seperti kemampuan menulis, desain grafis, video grafis dan sebagainya, maka akan sulit juga menghadapi dunia karir nantinya.

Di akhir tulisan ini, pesan untuk kita semua terkhusus kepada para calon mahasiswa yang baru saja mendaftar SBMPTN maupun jalur tes masuk perguruan tinggi lainnya, mari bersegera meluruskan mindset kuliah ke depan. Jika mindset sudah tepat, maka kampus bukan sekedar tempat kuliah, akan tetapi jadi ladang memperkaya kapasitas diri seluas-luasnya.

Pada akhirnya, peluang itu tidak lahir dengan sendirinya. Ia datang di saat yang tepat di kala kita sudah siap dengan segala keterampilan yang kita miliki. Dan lebih mulia lagi bila kita bukan sekedar pemburu peluang, melainkan pencipta peluang untuk dinikmati oleh orang banyak dengan ruang lingkup yang seluas-luasnya. Selamat menanti pengumuman SBMPTN!