Kenapa Harus Dipertemukan di Sini #3DDA
(Ilustrasi/masmufidcom) |
Sebuah panggung besar sudah berdiri kokoh sejak sepekan silam. Anak laki-laki bersama para gurunya sedang sibuk mendirikan teratak dan segala hiasan yang bisa dipasang untuk memperindah area sekitarnya.
Panggung itu bakal digunakan untuk menampilkan kreasi dan kreativitas tiap kelas, khusus kelas VI. Kebetulan tahun ini ada delapan kelas, banyak memang. Sudah begitu setiap tahunnya, maklum sekolah favorit.
Anak-anak kelas akhir ini akan menampilkan drama, tarian lokal, musikalisasi puisi dan masih banyak lagi. Semuanya dipersembahkan untuk para guru dan adik-adik leting mereka.
Acara yang begitu dinanti tiap-tiap menutup tahun ajaran baru dan itu sudah menjadi budaya di sekolah tempat Adhira mengajar, yakni Festival Keakraban.
Pada hakikatnya acara ini merupakan acara perpisahan dengan siswa-siswi kelas VI. Hanya saja dibungkus dengan pertujukan kreasi dan kreativitas. Tahun ini menarik, temanya "Meninggalkan Karya, Menapaki Impian di Sana."
Tinggal sehari lagi. Anak laki-laki bersama para gurunya sedang sibuk mendirikan gapura dan memasang berbagai ornamen dengan tujuan memperindah sekitaran panggung utama.
Para kaum wanita juga tak kalah sibuk. Yup, apa lagi kalau bukan sajian makanan. Banyak sekali jumlahnya. Makanan pembuka saja ada sekitar tujuh jenis makanan, belum lagi yang lain-lain.
Soal kemampuan memasak, Adhira sungguh tak perlu diragukan lagi. Bahkan banyak guru perempuan yang minder bila Adhira sudah turun tangan ke dapur. Padahal mereka yang di sana rata-rata sudah berkeluarga dan sudah punya suami. Sedang Adhira, ia masih sendiri, masih setia dengan rasa dalam diamnya.
"Beruntung sekali ya, yang jadi imamnya dek Adhira nanti. Cantik, mandiri, jago masak lagi. Plus sebentar lagi bakal jadi magister, bakal jadi ibu dosen hehe," celoteh ibu guru Matematika, tangannya masih sibuk memarut kelapa.
"Ia nih bu, sampai-sampai anak kita aja segan buat ditawari ke dek Adhira ini. Sempurna sekali sebagai seorang wanita," cetus ibu guru Bahasa Indonesia.
"Katanya juga lagi persiapan selesaikan hafalan 30 juz ya kan? Kami satu pengajian lho bu, sama dek Adhira ini. Emang sempurna deh," timpal ibu guru Pendidikan Agama.
Wajah Adhira memerah masam. "Masya Allah ibu-ibu, kesempurnaan hanya milik Allah," ucap Adhira malu, sembari mengaduk daging yang sedang mendidih di kuali besar.
Adhira diketahui bakal menyelesaikan tesis dan sidang magister (S2) tahun depan. Mengambil jurusan Psikologi, namun di SD tempat ia mengajar, Adhira bukan sebagai guru biasa melainkan guru Bimbingan Konseling yang juga diamanahkan sebagai Plt (Pelaksana Tugas) Wakil Kepala Sekolah bidang Konseling.
Kebetulan Waka Konseling sebelumnya sedang mengambil cuti melahirkan.
"Eh sudah waktunya shalat Ashar ini, ada baiknya kita shalat dulu. Tapi ganti-gantian ya, sebagian harus tetap di dapur," ajak ibu guru Pendidikan Agama.
"Baik ibu-ibu, Adhira kayaknya nyusul nanti deh, soalnya ini baru aja mendidih kuahnya. Belum masak betul dan belum bisa ditinggal," timpal Adhira.
***
"Kak Ismiiiiiii," peluk Adhira tiba-tiba.
"Eh, baru datang udah main peluk-peluk aja nih"
"Kak tahu ga tadi?"
"Ga tau"
"Ih kakak, belum juga ngomong," kali ini Adhira pegang kedua pipi Ismi seperti kegemasan.
"Ya ada apa?"
Adhira tak menjawab, ia kembali memeluk Ismi namun kali ini seperti terdengar suara tangisan dari bibir manis Adhira. Kecil sekali.
"Jeh, kok malah nangis. Tadi ketawa," tanya Ismi yang mulai tahu kalau sahabatnya ini sedang jatuh cinta. Hanya saja Ismi tak tahu skenario apa yang baru saja terjadi hingga membuatnya Adhira bahagia sekaligus bersedih.
***
Tangan Adhira sudah sangat pegal mengayuh sendok besar, apalagi saat masakan di kuali raksasa itu tengah mendidih. Pegal plus panas, itulah yang sedang dihadapkan di depan Adhira.
"Bu, ini apinya sudah dimatikan. Sekarang Adhira gantian shalat dulu ya. Sudah hampir jam lima ini," ucap Adhira sembari bergerak ke kamar mandi untuk berwudhu.
"Iya dek Adhira. Biar di situ saja, nanti ibu lihat-lihat"
Sesaat kemudian ia lepaskan hijabnya yang tebal dua lapis. Siraman wudhu ke wajah Adhira sungguh menyejukkan sampai ke hatinya. Sebab hari ini panas sekali, harus berhadapan dengan tungku dan kuali raksasa untuk masakan persiapan Festival Keakraban yang tinggal sehari lagi.
"Dek Adhira, mukena di dalam rak ya. Masuk saja, di situ memang ruang shalat," ucap ibu guru pemilik sementara rumah dinas di area sekolah, tempat mereka masak-masak untuk acara puncak itu.
"Baik ibu, terima kasih," Adhira bergegas karena waktu Ashar hampir habis.
Baru saja ingin menggelar sajadah, tiba-tiba..
"Assalamualaikum, sebentar! Boleh berjamaah saja?" tanya seorang pria. Mengenakan kemeja putih dan celana hitam, pakaiannya rapi sekali. Wajahnya teduh, tak berusaha melihat lawan bicaranya.
"Hmm, kenapa bisa terlambat juga ya kak. Eh pak?"
"Maaf tadi saya harus mengecek coding database sekolah untuk riset saya dan baiknya kita shalat dulu saja, nanti sambung lagi," ucap pria itu sopan, usianya baru 25 tahun.
Mereka menggelar sajadah berdua tanpa diskenario jalannya. Ibu guru matematika yang kebetulan lewat, menangkap pemandangan dua insan yang sedang sujud kepada Tuhannya.
"Masya Allah, indahnya," ucap ibu matematika itu dalam hati.
Di saat yang sama, Adhira menjadi sangat deg-degan. Ia tak pernah diimami sendirian oleh seseorang yang bukan mahramnya. Hanya saja ia tak sempat menolak karena kondisinya yang memang tak memungkinkan.
Rakaat keempat menjadi sangat menegangkan bagi Adhira. Bahkan saat tahyat akhir, ia sempat menitikan air mata. "Ya Allah, kenapa harus dipertemukan di sini," rintihnya dalam hati.
***
"Maaf pak doktor, mungkin bisa dijelaskan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu guru di sini tentang maksud dan tujuan pak doktor dalam beberapa hari ke depan," kata kepala sekolah yang kelihatannya sangat bahagia.
"Baik bapak, terima kasih sebelumnya. Mungkin tidak perlu perkenalkan nama lagi kali ya, bapak-bapak dan ibu-ibu di sini insya Allah lebih kenal saya dibanding diri saya sendiri. Terutama soal kenakalan saya," ucap pria itu sopan sembari memancing tawa. Wajahnya terlihat lebih tampan dan badannya lebih tinggi dibanding satu dekade silam.
Wajahnya di masa lalu masih terpampang di ruang guru. Ia merupakan Ketua Osis sekitar 10 tahun lalu di sekolah itu. Ada fotonya di barisan foto para mantan Ketua Osis yang terpampang jelas di sana.
"Oh jadi itu bapak? Banyak lho yang puji-puji bapak doktor, seolah bapak itu tidak termakan oleh waktu di sekolah ini. Tiap ada guru baru, pasti sekolah ini ceritain tentang bapak, ceritain pernah punya alumni hebat lagi sukses," ucap guru IPS, kebetulan ia baru bekerja setahun yang lalu di sekolah itu.
Seisi ruangan sontak tertawa melihat kepolosan guru baru pengampu mata pelajaran IPS itu. Pria yang baru saja mendapat sanjungan ini malah terlihat malu, mukanya memerah tak karuan.
"Masya Allah, terima kasih banyak bapak-bapak dan ibu-ibu guru semua. Saya ini bukan siapa-siapa kalau bukan kasih sayang para pahlawan hebat yang ada di sini dalam mendidik saya dulu," ucap pria itu sembari merangkul sopan pundak pak kepala sekolahnya.
"Baik saya lanjutkan ya bapak dan ibu semua. Jadi, dalam 15 hari ke depan saya bakal berada di sekolah ini. Saya sedang menyiapkan sebuah riset untuk BRSC, sebuah pusat riset di Inggris. Tempat saya bekerja sekarang.
Mohon do'anya bapak dan ibu semua, semoga hasil riset ini berhasil dan memberi dampak besar untuk dunia nantinya," tutup pria itu yang membuat seisi ruangan terdiam, logat bicaranya penuh wibawa.
****
"Kak, obat jatuh cinta, apa ya?" tanya Adhira polos.
"Ya menikah," jawab Ismi singkat. Kali ini badan Adhira gemetar lemas.
"Tapi Adhira ini kan cewek kak. Ga mungkin sampein ke dia, apalagi sampai bilang will you marry me," jawab Adhira penuh emosi, ia seolah menyalahkan dirinya kenapa harus terlahir sebagai seorang perempuan.
Ismi baru saja ingin bercerita tentang kisah bunda Khadijah yang menyatakan perasaannya lebih dahulu kepada Rasulullah Saw. Hanya saja Adhira keburu duluan lari ke kamar. Mungkin dia malu dan baru sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan.
***
"Assalamu'alaikum warahmatullah, assalamualikum warahmatullah," tengok pria itu ke kanan dan ke kiri mengakhiri shalatnya. Gerakan ini kemudian diikuti oleh ma'mum tunggal yang berada di belakangnya.
Usai berdo'a singkat, pria itu melipat sajadahnya. Wanita yang menjadi ma'mum dalam shalat Ashar tadi, masih terduduk kaku plus malu.
"Maaf kak, kenapa pulang ya. Bukannya sekarang sudah bekerja di Inggris?" buka Adhira sambari memaksa diri bersuara, tatapan matanya kosong ke depan.
"Hmm, iya Adhira. Saya harus pulang untuk kebutuhan riset, tapi hanya sebentar," ucapnya penuh wibawa.
"Andai kau tahu betapa namamu selalu tak luput dalam do'a di shalat malamku, wajahmu tak hilang dari mimpi-mimpi dalam tidur panjangku. Sebenarnya kau ini siapa?
Tega sekali mengusik hati ini, wahai pemilik nama Muhammad Khalfan Ibrahim," ucap Adhira dalam hati.
Secepat kilat, tangannya seperti menyeka air mata cepat-cepat. Berusaha menutupi semuanya agar tak terlihat oleh pria yang berada di depannya, pria yang bahunya sempat menjadi tempat bersender kepalanya walau hanya sesaat, walau hanya dalam mimpi.
"Adhira, saya duluan ya," pria pemilik nama Khalfan itu berlalu. Hatinya seolah menengadah sambil berucap, "Wahai Dzat pembolak balik hati........"
Sebelumnya
1 comment for "Kenapa Harus Dipertemukan di Sini #3DDA"