Tidak Minimalis, Alasan Kenapa Kita Tak Pernah Bahagia - Review Buku Goodbye Things (Fumio Sasaki)
Ilustrasi (Sumber: Pixabay) |
Bahagia itu bukan soal angka. Sekilas kata-kata ini biasa saja. Tapi pemaknaan yang sesungguhnya benar-benar saya dapatkan setelah membaca buku Goodbye Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki. Kenapa demikian?
Ya, poinnya sederhana, semakin kita mengejar angka, semakin jauh pula cara kita menempatkan letak kebahagian kita, bahaya. Contoh sederhana tentang mobil. Awalnya ingin beli merk Xenia atau Kijang Inova (Rp 200 jutaan) mungkin, kemudian setelah dapat dan melihat rumput tetangga yang lebih hijau, mulai berpikir beli mobil Pajero Sport (Rp 600 jutaan).
Setelah dapat, berpikir lagi ingin ganti/beli mobil Alphard (Rp 1 miliaran), kemudian naik lagi ke Tesla (Rp 2 miliaran), kemudian berencana lagi beli Ferrari dan sebagainya dan sebagainya. Setelah itu bahagia? Tidak! Berencana lagi beli jet pribadi lengkap sama pilotnya (waduh).
Begitulah sekilas yang bisa saya diskripsikan dari buku Goodbye Things karya Fumio Sasaki ini. Lalu di mana letak bahagia itu? Jawabannya sederhana, hidup minimalis dan jangan lupa banyak-banyak bersyukur. Kedua poin ini kita uraikan lebih luas ke bawah. Yukk, lanjut.
Tips Bahagia ala Fumio Sasaki
Ilustrasi (Sumber: Pixabay) |
Hidup Minimalis
Fumio Sasaki memang sosok paling ekstrem soal ini. Bayangkan, saat ini ia hanya punya tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki dan sedikit benda lain di apartemen kecilnya di Tokyo.
Tapi hal itulah yang kemudian membuatnya lebih bahagia, lebih kreatif dan banyak menghasilkan karya (salah satunya buku ini), mulai open minded, merasa cukup setiap hari, dan yang paling penting ia sudah di tahap di mana tak lagi membandingkan dirinya dengan orang lain.
Hidup minimalis membuat pikirannya lebih terbuka karena tidak ada lagi tumpukan barang di apartemennya, tidak ada lagi alasan bermalas-malasan saat menyuci piring karena itu satu-satunya piring yang ia punya, tidak ada lagi alasan malas membersihkan kamar karena satu sampah saja langsung kelihatan.
Saya tidak ingin spoiler di buku ini, selengkapnya teman-teman bisa beli bukunya di Gramedia atau toko buku terdekat, bisa juga dibeli di Google Play Buku. Tapi pelajaran yang saya dapat setelah membaca buku ini adalah seolah-olah saya tidak ingin lagi membeli barang baru.
Jika Robert Kiyosaki menjelaskan secara gamblang perbedaan antara aset dan liabiliti (hutang, pengeluaran, tagihan dsb), buku Fumio Sasaki ini mengajarkan saya bagaimana cara membedakan barang kebutuhan dan sampah.
Lucunya, setelah membaca beberapa BAB buku ini sambil rebahan, kemudian saya hentikan sesaat aktivitas membaca saya sekadar melihat di sekitar kamar. Pikiran saya langsung mendefinisikan semua barang yang lebih kurang seperti ini, "Kok sampah semua ya di kamarku" Hahaha.
Gaya hidup minimalis membuatkan kita cepat bahagia. Tidak punya keinginan membeli sesuatu selain kebutuhan. Manfaatnya apa? Kita lebih produktif, terutama dalam berkarya, dibandingkan mikirin gaya hidup yang nggak akan pernah habisnya kalau diturutin, dan nggak ada juga yang peduli dengan produk branded yang kita punya.
Poin lain yang saya dapatkan setelah membaca buku ini adalah tentang memerdekakan hati dan pikiran sendiri dari berkurangnya barang di rumah, dan ketidakinginan membeli barang baru yang tidak perlu, tidak menunjang produktivitas sama sekali atau sekadar gaya-gayaan semata.
Buku ini seolah mengajarkan bagaimana cara berhenti mencapai kebahagiaan melalui kacamata orang lain seperti, supaya terlihat keren, supaya terlihat kekinian, terlihat kaya dan sebagainya dan sebagainya.
Kita harus menentukan sendiri cara bahagia kita, tanpa bergantung pada sudut pandang orang lain yang sebenarnya juga nggak peduli terhadap apa yang kita lakukan. Dengan menyederhanakan gaya hidup (pikiran harus tetap diisi penuh hehe), manusia akan mendapat value (nilai/keunikan) sendiri di mata orang lain melalui karyanya. Bukan fesyennya :)
Itulah kemudian jangan heran bila Steve Jobs (pendiri Apple/iPhone/Macbook dan saudara-saudaranya hehe) pakai baju yang itu-itu aja di seminar atau saat presentasi. Begitu juga dengan Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) yang pakai kaos abu-abu yang itu-itu aja. Karena minimalis membuat isi kepala mereka maksimal dan produktif. Itu poinnya.
Mungkin pandangan saya di review ini sedikit jauh dari temen-temen lain yang juga membuat tulisan serupa yang hanya berfokus bagaimana cara membuang barang. Kalau di review ini saya lebih mengambil poin bagaimana cara bahagia melalui kiat-kiat sederhana dan logis yang dituliskan dalam buku ini.
Lebih ekstrim lagi, Fumio Sasaki mengajarkan bagaimana minimalis dalam berteman. Ini poin paling ngakak sih. Dia saranin kalau teman (sahabat) itu cukup 3-4 orang saja. Supaya kamu tahu siapa yang harus diapelin tiap akhir pekan untuk diajak ngopi, ketawa-ketiwi, jalan bareng, sampai tidur bareng.
Poin ini yang paling keren sih menurut saya. Percuma punya banyak teman kalau kita tidak punya waktu intim atau sekadar ketawa-ketiwi di akhir pekan. Alih-alih ketawa-ketiwi pas weekend, balas chat aja susah wkwkwkw. Makanya dengan sedikit teman, kita tahu mau jadwalin siapa di pekan ke berapa. Lebih kurang begitu. (Disclaimer: poin ini nggak usah dituruti kali :)
Mungkin begitulah sedikit gambaran minimalis yang dapat saya tangkap dari buku Goodbye Things karya Fumio Sasaki (sebab saya nggak mau spoiler hehe) yang tentunya sangat bermanfaat bagi pikiran, perasaan dan produktifitas para pembacanya dalam berkarya.
Ilustrasi (Sumber: Pixabay) |
Bersyukur Kunci Bahagia
Itulah kenapa seseorang yang pandai bersyukur, nikmatnya akan terus bertambah (QS. Ibrahim: 7). Karena memang dengan bersyukur, secara logika kita lebih leluasa untuk mau ngapain, lebih mudah buat plan, berkarya dan masih banyak lagi, ketimbang terus mikirin kenapa hidup saya selalu tak sehijau rumput tetangga hehe.
Itu baru secara logika ya. Kalau secara spritual, ya jangankan Allah Swt yang Mahapemurah, kita saja sesama manusia kalau tahu cara berterima kasih kepada orang yang pernah membantu kita, dia pun akan terus care dan aware sama kita. Bayangkan, Allah Swt yang maha atas segala maha. Menang banyak deh kalau pandai bersyukur, dimudahkan semuanya.
Dalam buku Goodbye Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki ini, tentang bersyukur dibahas di akhir BAB dan seolah jadi penutup yang sempurna dari buku ini dan jadi inti dalam mencapai kebahagian. Ya memang gitu, kalau merasa nggak cukup terus, maka bahagia itu pun menjadi sangat semu. Sebab di atas langit masih ada Hotman Paris wkwkwkq.
Bersyukur menyempurnakan sebuah kebahagian atas pencapaian apapun dalam hidup. Bayangkan, dalam buku ini saya lupa siapa yang bilang, tapi intinya, jika seseorang meraih sesuatu pencapaian, misal menjuarai sebuah kompetisi, lama bahagianya itu cuma 3 jam. Selebihnya biasa aja. Padahal latihan dan kerja kerasnya bertahun-tahun. Lucu kan? Dan itu hasil riset lho. (Makanya baca buku ini, seru)
Saya takut malah terlalu spoiler di buku ini, sayang, menghargai penulisnya hehe. Untuk itu, buat kamu yang ingin mencapai kebahagian, tidak ingin lagi membeli yang sebenernya tidak penting dan ingin segera berhenti dari sindrom kalah balapan, alias membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain, mending segera baca buku ini, buku Goodbye Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki.
Tips, mending beli di Google Play Buku (bisa diunduh dulu aplikasinya di Play Store), selain lebih hemat kisaran Rp 20 ribuan (kalo nggak salah hehe), temen-temen bisa simpan di smartphone dan bawa ke mana-mana sampai tua, selama email masih aktif (hehe), plus ikut menjaga alam juga supaya tidak terlalu banyak pohon ditebang untuk pembuatan buku.
Udah, segitu aja dulu. Thanks yang udah baca review-nya nyampek habis. Intinya, recommended buanget :)
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, November 2018
Jumlah halaman: xxxi + 247 halaman
Post a Comment for "Tidak Minimalis, Alasan Kenapa Kita Tak Pernah Bahagia - Review Buku Goodbye Things (Fumio Sasaki)"
Post a Comment